Istilah manusia berasal dari bahasa arab, yakni man
(makhluk berakal). Manusia adalah makhluk yang bernyawa dan berakal. Bahwasanya
kita sebagai manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang bernyawa (hidup) dan
memiliki akal untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
Di samping itu, di dalam diri manusia mempunyai
sifat lupa dan lalai. Dari sifat itulah, maka manusia berpotensi untuk berbuat
salah (disengaja), khilaf (tidak disengaja).
Manusia sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan
terdapat tiga unsur utama, yaitu jasad (fisik) atau juga disebut raga, jiwa (nafs),
dan roh (roh). Unsur-unsur tersebut memiliki keterkaitan yang erat satu
sama lain.
A. Jasmani (Raga atau Tubuh atau Jasad)
Ini adalah unsur diri manusia yang bisa dilihat,
diraba, dicium baunya dan didengar dengan inderawi. Dalam kandungannya sebagai
pemilik raga, manusia tidak ada bedanya dengan makhluk lainnya, yakni hewan,
tumbuhan dan benda-benda mati lainnya (jamad). Maka ketika manusia sudah
tidak memiliki nyawa atau telah mati, ia akan hancur dan keempat unsur akan
menyatu dengan bumi.
B. Nafs (jiwa)
Sermua manusia yang masih hidup di dunia, selain
memiliki raga juga memiliki jiwa. Manusia berjiwa yang tidak memiliki raga,
sama saja ia dengan hantu atau makhluk gaib yang tidak bisa dilihat
keberadaannya. Sebaliknya, manusia yang tak berjiwa sama saja ia dengan
benda-benda mati atau pohon yang tidak bisa bebas bergerak. Ia hanya menjadi
seonggok mayat yang segera membusuk dan membaur dengan bumi.
Jika dibandingkan dengan raga, maka jiwa memiliki
kedudukan yang lebih penting. Jiwalah yang dapat merasakan senang, gembira,
atau nestapa. Jiwa pula yang merasakan lapar, dahaga, sakit, atau nikmat.
Sebenarnya hewan pun memiliki jiwa seperti manusia, sehingga mereka juga akan
merasakan mati sebagaimana firman Allah Swt.: “Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati” (QS. Al-Anbiya: 35).
Akan tetapi, perbedaan hewan dengan manusia,
bahwa manusia diberikan dua instrumen pendukung yang amat vital, yaitu akal dan
hati. Dua unsur inilah yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya.
Akal dan hati sebagai instrumen vital juga
ditempatkan pada jasmani. Akal berada di kepala dalam bentuk otak. Otak jasmani
tersusun laksana kabel-kabel yang terangkai sedemikian rupa, rapi, dan sempurna.
Namun otak dalam kepala tetaplah merupakan benda mati. Manakala tak berjiwa dan
tak ada fungsinya. Demikian juga dengan hati. Pada jasad, hati berbentuk
gumpalan darah yang padat membeku di dalam dada. Kita menyebutnya dengan
istilah hati, di mana ini berbentuk benda mati. Dan ini semua tak ada fungsinya
apabila tidak ada jiwa yang bersemayam di dalam raga.
Jiwa secara keselurohan meliputi tubuh manusia
sedangkan hati pusatnya. Oleh karena itu, manusia yang hatinya bersih maka
jiwanya juga akan bersih. Keadaan jiwa sangat akan terkait dengan keadaan
psikologis dan fisiologis. Manusia yang hatinya kotor maka raut mukanya akan
berbeda dengan manusia yang hatinya bersih. Manusia yang hatinya besih akan tampak
dari mukanya yang berseri, ramah dan menghargai. Manusia yang marah dan bermuka
musam, maka hatinya terliputi semacam kotoran dan bila terlalu banyak kotoran
akan membuat buta mata hatinya.
Dengan demikian bahwa hati ibarat sebuah lingkaran
jiwa manusia yang di dalamnya terdapat berbagai macam perasaan yang berbeda.
Hati juga tempat bersemayamnya hidayah dan iman.
Dari paparan di atas terdapat beberapa pengertian
tentang jiwa (nafs), yaitu pertama, jiwa yang berkaitan
dan tumpuan syahwat atau hawa. Hawa atau syahwat selalu berkecenderungan kepada
asal kejadiannya yaitu sari pati tanah. Dia akan bergerak secara naluri mencari
bahan-bahan materi asal fisiknya, ketika kekurangan energi atau kekurangan unsur-unsur
asalnya maka ia akan segera mencari atau secara naluri ia akan berkata, saya
lapar, saya haus!
Kedua, nafs
berarti Jiwa, jiwa mempunyai beberapa
sifat, nafs lawwamah (pencela), nafs muthmainnah (tenang), nafs
ammarah bissu’ (senantiasa menyuroh berbuat jahat).
Sedangkan hati (qalb), artinya sifat jiwa
yang berubah-ubah, tidak tetap. Terkadang ia bersifat muthmainnah,
kadang juga lawwamah, atau berubah menjadi ammarah bissuu’.
Watak seperti inilah yang dimaksud dengan hati
(berbolak-balik), jadi keliru kalau dikatakan hati itu adalah wujud karena dia
bukan jiwa, akan tetapi merupakan sifatnya jiwa yang selalu berubah-rubah. Jiwa
yang mempunyai sifat berubah-rubah inilah, dinamakan qalbun!! sedangkan
jiwa yang selamat disebut qalbun salim (selamat dari sifat yang
berubah-rubah) - illa man atallaha biqalbin saliim - kecuali orang yang
datang kepada Allah dengan hati yang selamat. (QS. Asy Syura: 89)
Nafs (jiwa) memiliki
alat-alat, pikiran, perasaan, intuisi, emosi, dan akal. Sedangkan nafs
(fisik) memiliki alat-alat: penglihatan (mata), pendengaran (telinga), perasa
(lidah), peraba, penciuman (hidung).
C. Roh (Roh)
Tuhan memberikan pengetahuan dalam masalah “di
luar alam nyata” (dalam istilah popoulernya Metafisika) kepada manusia
sangatlah terbatas, dan hal itu bisa kita ketahui lewat penjelasan Alquran dan
Sunah Nabi. Memang ada sebagian kebanyakan ahli filsafat yang membahas roh
demikian jauh, sehingga mereka berkeyakinan bahwa roh itu kekal. Maka dari itu,
bahwa membahas sedikit mengenai roh juga merupakan masalah penting yang harus
diketahui.
Dalam sebuah ayat Alquran, Allah
menjelaskan bahwa “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh.
Katakanlah, Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya
sedikit”, (QS. Al-Isra': 85).
Roh merupakan bagian dari hal ghaib, dan bisa
dikatakan rahasia Tuhan, serta manusia hanya memiliki sedikit pegetahuan
tentang roh, akan tetapi bukan berarti tidak boleh dalam membahasnya. Dalam
membahasnya pun sudah barang tentu didasari oleh rasa ingin tahu, dan didasari
oleh pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
Mengapa Tuhan merahasiakan roh dan mengaitkannya
dengan roh-Nya, dan di dalam Alquran termasuk kelompok ayat-ayat mutasyabihat
(makna yang dirahasiakan), karena pada ayat tersebut terdapat kalimat roh manusia
adalah roh yang ditiupkan dari roh-Ku (Min ruuhii) arti harfiahnya
adalah roh milik Tuhan. Akan tetapi para ahli tafsir (mufassir)
menterjemahkan roh ciptaan Tuhan. Kita jangan terburu-buru menafsirkan karena
dari segi tata bahasa ayat ini termasuk kalimat muatasyabihat, sebab Tuhan
sendiri melarang meraba-raba atau mereka-reka seperti apa roh itu kecuali hanya
bisa merasakan bahwa di dalam diri ini ada yang melihat (bashirah)
setiap gerak-gerik jiwa dan pikiran serta perasaan kita. Dan bashirah
bersifat fitrah (suci) karena ia selalu bersama dan mengikuti perintah
Tuhannya.
“Maka apabila telah Aku menyempurnakan
kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Roh-Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya
dengan bersujud”, (QS. Al Hijr: 29).
Roh adalah rahasia Tuhan yang ditiupkan kepada nafs
(jiwa atau badan). Roh ini menyebut dirinya Aku, yang disebut bashirah
(yang mengetahui atas jiwa, hati, dan fisik).
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya
sendiri (jiwa). Di dalam diri manusia ada yang selalu tahu, yaitu Tuhan. Yaitu roh
manusia yang menjadi saksi atas segala apa yang dilakukan diri sendiri. Ia
mengetahui kebohongan dirinya, kemunafikan, rasa angkuhnya, dan rasa kebencian
hatinya. Karena itu sang roh disebut min Amri rabbi – selalu mendapatkan
intruksi-instruksi Tuhan-ku. Mengapa demikian, – karena ia tidak pernah
mengikuti kehendak nafsu dan tidak pernah menyetujuinya tanpa kompromi
sedikitpun. Ialah disebut fitrah yang suci, dan fitrah manusia
selalu seiring dengan fitrah Allah (QS. Ar Rum: 30).
Roh adalah energi kekal, energi hidup yang mendiami
setiap diri manusia, tidak perduli siapa dia apakah orang kaya, miskin, sehat,
sakit, bahagia ataupun orang penuh penderitaan, roh tetap berdiam diri di
dalamnya. Tanpa Roh manusia
hanyalah seonggok daging tak berharga yang akan berubah menjadi bangkai.
Sungguh sangat luar biasa keberadaan roh. Itulah sebabnya yang
membuat manusia hidup dan bisa mempunyai nilai.
Roh merupakan energi yang
berasal langsung dari Tuhan. Sungguh energi
yang luar biasa. Roh adalah
energi suci, maka janganlah engkau kotori rohmu dengan perbuatan yang menentang
Tuhan. Jadi inti dari mempelajari energi inti roh
adalah jauhkan diri dari perbuatan yang menentang Tuhan.
D. Antara Jiwa dan Jasad
Kejadian ketika Allah mengambil kesaksian dan
sumpah dari setiap jiwa memberikan informasi kepada kita, bahwa pada
hakikatnya, manusia adalah makhluk spiritual. Kemudian, setelah kesaksian
setiap jiwa di alam roh/jiwa itu, maka Allah melalui mekanisme alam rahim,
memberikan setiap jiwa itu jasad. Jasad manusia pada hakikatnya adalah berasal
dari bumi, dari sebagian zat yang ada pada tanah, sari pati tanah. Banyak
sekali hal yang menyatakan tentang ini bisa kita temukan di dalam Alquran. Dan
ilmu pengetahuan modern-pun telah membenarkan bahwa jasad manusia adalah satu
bentuk material yang berasal dari sari pati tanah. Sedangkan jiwa adalah
sesuatu yang berasal, kita sebut saja, ia berasal dari langit karena jiwa
substansinya bukan berasal dari bumi.
Jiwa tidak pernah berhenti berkeinginan karena
tua, tetapi karena keterbatasan jasad yang ia gunakan di dunia saja, yang
membuat dirinya seakan-akan menjadi tua dan membatasi keinginan yang
bermacam-macam. Tetapi, jika kita renungkan, pada hakikatnya, jiwa tidak pernah
berhenti untuk berkeinginan. Hal ini sebagaimana pernah disampaikan oleh
Rasullulllah Saw., bahwa anak adam, seandainya ia telah memiliki gunung emas
(kekayaan yang banyak) dirinya tidak akan pernah berhenti untuk menginginkan
hal itu sampai tanahlah yang akan mengisi perutnya (kematian). Pada realitas
kehidupan kita, kita sering melihat orang yang sudah ‘berumur’, tetapi masih
memiliki semangat, kemauan, keinginan, bahkan gairah ‘seakan-akan’ mereka lupa
akan usia mereka.
Inilah jiwa, yang sesungguhnya ia adalah bagian
dari diri manusia yang abadi. Jiwa tidak pernah mati, bahkan ia akan hidup
abadi. Dalam proses keabadiannya, jiwa mengalami satu fase ujian yang harus ia
lewati, yaitu kehidupan di bumi (alam dunia dengan tujuan pokoknya, baca buku
perjalanan manusia, pen), dan untuk melakukan hal itu setiap jiwa harus hidup
‘terkurung’ dan tergantung dalam materi yang mengikatnya, yaitu jasad. Setiap
jiwa, hanya hidup sesaat di bumi, hidup sementara bersama jasadnya yang semakin
hari semakin bertambah tua, yang kemudian jasad yang digunakannya itu akan
kembali lagi pada bentuk semula, yaitu tanah. Dan ketika jasad yang ia gunakan
telah kembali menjadi tanah, maka jiwa setiap manusia akan mengalami fase
kehidupan selanjutnya. Untuk selengkapnya silakan anda membaca buku perjalanan
manusia yang telah diterbitkan.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan
hal yang berkaitan dengan hal jiwa dan jasad. Kita semua tahu, kalau saja jasad
tidak diberi makan dan minum selama satu hari apa yang akan terjadi? Bagaimana jika
2 hari, 3 hari, atau 8 hari? Tentunya, kita semua sudah tahu jawabannya. Para
dokter mengatakan rata-rata, manusia akan kuat untuk bertahan hidup dengan
tidak makan dan minum adalah hanya 5 hari saja. Maka lebih dari itu, hampir
jarang ditemukan manusia yang masih dalam keadaan hidup. Itulah jasad,
setidaknya, jika ia masih hidup, pastilah jasadnya akan diketemukan dalam
keadaan lemah, dan boleh jadi, tubuhnya rentan terkena penyakit, karena sistem
pertahanan tubuhnya sudah tidak berfungsi dengan baik. Tentunya, kesadaran akan
pentingnya makanan bagi jasad sudah merupakan satu hal yang menjadi pengetahuan
umum, bahkan tidak perlu seseorang itu memperlajari teorinya secara alamiah, ia
sudah melakukan hal ini. Hanya saja, yang dapat menggangu kesehatan jasadnya
biasanya hanya tergantung dari pola makan, dan jenis makanan yang ia konsumsi.
Itulah jasad. Orang yang menyadari pentingya makanan untuk jasad, maka ia akan
senantiasa berusaha untuk mencari makanan untuk kelangsungan hidup jasadnya.
Setidaknya ada beberapa tingkatan dalam jasad
manusia, yang pertama ia dalam keadaan lemah, yang kedua, ia dalam keadaan
sakit, lalu kurang sehat, sehat, dan bugar, dan sangat sehat atau bersemangat.
Jasad manusia senantiasa berada di antara kondisi-kondisi tersebut. Dan ketika
seseorang menyadari pentingnya kondisi tersebut, tentunya ia akan melakukan
sesuatu agar ia dapat mencapai kondisi tersebut. Jika ia dalam keadaan sakit,
maka ia akan berobat, dan sudah menjadi satu hal kita maklumi, bahwa tidak
semua obat yang kita minum enak rasanya. Tetapi karena kita tahu bahwa itu
adalah obat, maka dengan harapan dan keyakinan akan sembuh, seseorang akan
meminum/ memakan obat untuk kesembuhan jasadnya, walaupun ia berasa pahit.
Demikian pula dengan jiwa setiap manusia. Jiwa
juga memerlukan ‘makanan’. Jika makanan untuk jasad ini adalah segala sesuatu
yang berasal dari bumi, maka jiwa memerlukan ‘makanan’ yang berasal dari tempat
jiwa itu berasal, yaitu dari langit. Allah sebagai pencipta manusia, telah juga
menyediakan ‘makanan’ bagi jiwa itu, yaitu dengan memberikan petunjuk agar
manusia menjaga jiwa mereka dengan melakukan ritual, seperti yang dinyatakan
dalam rukun iman dan Islam. Melakukan berbagai perintah anjuran, dan larangan
yang terkadang tidak dapat dipahami oleh jasad.
Dalam beberapa ayatnya Alquran menyatakan bahwa,
bukan jasadnya yang mengalami kerusakan, tetapi jiwalah yang mengalami
kerusakan. Seperti pada ayat yang secara makna menyatakan, bukan mata mereka
yang buta, atau telinga mereka yang tuli, atau seperti pada ayat mereka memiliki
mata dan telinga, tetapi mereka tidak bisa melihat dan tidak bisa mendengar.
Dan disampaikan juga oleh Rasulullah, bahwa kedudukan hati (dalam jiwa, bukan
hati dalam konteks fisik, seperti liver atau jantung) memiliki kedudukan yang
sangat tinggi, jika hati seseorang itu baik, maka baiklah seluroh manusia itu.
Demikian pula kondisi jiwa seseorang, ia dapat
berada pada kondisi lemah, sakit, kurang sehat, sehat dan bugar. Tentunya,
ketika jasad untuk mencapai kondisi bugar perlu berbagai latihan dan juga makanan
tambahan. Memang jasad tidak akan mati, jika ia hanya memakan makanan pokok
saja, seperti nasi, tetapi juga dengan memakan makanan itu jasad juga tidak
akan sampai pada tingkatan kesehatan yang maksimal atau bugar. Perlunya
suplemen makanan (makanan tambahan) atas jasad sudah merupakan hal yang sangat
penting, bagi mereka yang menyadari bagaimana harus menjaga jasar mereka. Dan,
hal ini tidak ubahnya dengan jiwa, jiwa juga memerlukan suplemen makanan, boleh
jadi, dalam kontes ritual, jiwa juga memerlukan banyak sekali amal tambahan
agar ia menjadi bugar.
Ritual yang diwajibkan oleh Allah seperti shalat
lima waktu dalam konteks pembahasan ini kita katakan sebagai makanan pokok
saja. Yang dengan itu, jiwa manusia tidak akan pernah mati, tetapi, akan jauh
lebih baik lagi kondisi jiwa seseorang itu apabila ia juga ‘memakan suplemen’
makanan jiwa yang lain dengan memperbanyak perbuatan yang di sunnahkan oleh
Rasulullah. Maka jika ia melakukan hal itu, tentunya hal itu hanya akan membawa
kebaikan untuk kesehatan jiwa yang melakukannya.
Kesehatan jiwa, sangat berhubungan erat dengan
kesehatan jasad. Inilah hubungan yang masih menjadi pertanyaan besar bagi para
peneliti di dunia kedokteran. Hampir semua penyakit yang di derita oleh
manusia, kecuali yang sifatnya fisik, itu disebabkan karena kondisi kejiwaan.
Atau dengan isitlah populer, kita kenal dengan kata ‘stress’. Yang kemudian
akan menghasilkan tindakan emosional yang tidak sehat, dan memicu berbagai
penyakit yang kita kenal dengan kanker, stroke, serangan jantung, dan lain
sebagainya. Dalam dunia kedokteran, metode placebo (memberikan keyakinan pada
jiwa sang pasien) adalah hal yang sangat efekif untuk penyembuhan penyakit.
Dan pada faktanya, obat yang di konsumsi oleh
pasien, ternyata efektifitasnya hanya sekitar 25 – 30 persen. Juga melalui
fakta tersebut, ada yang berpendapat bahwa, ketika seseorang mengalami ganguan
kesehatan, maka sesungguhnya 60 persen yang ia alami adalah gangguan kejiwaan.
Melalui fakta-fakta tersebut, dunia penyembuhan saat ini, tidak bisa tidak
harus mencari satu terapi alternatif bagi sang pasien yang menderita satu
penyakit, yaitu dengan menyehatkan jiwa mereka melalui pendekatan spiritual.
Hal ini tentunya bukan merupakan satu hal yang
‘baru’. Karena hal ini sudah dinyatakan dalam Alquran dan pada prakteknya sudah
dicontohkan secara kongkrit oleh Rasulullah Saw. 14 abad yang lalu. Kesehatan
yang hakiki agar dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki, yaitu keseimbangan
antara kesehatan jiwa dan jasad. Kebaikan dunia dan akhirat.
Tinggal yang menjadi persoalan adalah, apakah
kita sudah memberikan suplemen makanan yang cukup untuk jiwa kita, lalu
bagaimanakah kita mendeteksi ‘sakit’ yang di derita oleh jiwa kita. Tentunya,
untuk melihat jasad yang sakit kita memerlukan cermin, atau pandangan orang
lain terhadap diri kita.
Demikian pula dengan jiwa, kita memerlukan cermin
agar kita bisa melihat, di bagian manakah yang sakit pada jiwa kita. Ketika
jasad memerlukan cermin yang berasal dari bumi, maka jiwa memerlukan cermin
yang berasal dari langit, dan cermin itu, adalah Alquran.
Bercerminlah dengan Alquran untuk mengukur sejauh
mana kesehatan jiwa kita. Hanya saja, tentunya, dalam prakteknya bercermin
untuk memperbaiki jasad berbeda dengan bercermin untuk memperbaiki jiwa. Boleh
jadi jiwa terasa tidak nyaman ketika sedang melihat pada cermin tersebut, sama
seperti kita melihat bagian dari jasad kita yang tidak nyaman ketika kita
mengetahui di mana tempat sakit itu berada. Dan boleh jadi ketika jiwa yang
sakit tersebut di obati, maka akan terasa pahit pada awalnya, tetapi
sesungguhnya ia memberikan penyembuhan, dan hal inilah proses yang telah di
ajarkan Allah, sebagaimana proses penyembuhan jasad kita.
Ketika kesadaran akan hal ini timbul dalam diri
kita, maka kita akan segera mengetahui manakah yang lebih penting, memenuhi
kebutuhan jasad kita atau jiwa kita. Faktanya, banyak di antara mereka yang
kebutuhan akan jasadnya (materil) sudah terpenuhi tetapi dalam kehidupannya
mereka tidak bahagia, atau bahkan mereka hidup tersiksa, di amerika sendiri,
pola hidup sehat secara fisik sudah banyak dilakukan, tetapi masih banyak pula
yang terkena penyakit kanker.
Keseimbangan, adalah hal yang sangat penting
untuk dilakukan, dan tentunya, kita hanya akan melakukannya untuk jasad sesuai
dengan proporsinya, sesuai dengan episodenya, karena nanti, jasad akan kembali
ke bumi, hanya jiwalah yang akan melanjutkan perjalanannya. Dan untuk melakukan
perjalanan, tentunya jiwa memerlukan bekal ‘kesehatan’ yang cukup.
E. Antara Jasad dan Roh
Manusia bukanlah sekedar apa yang nampak secara
kasat mata, terdiri atas berbalut daging dan kulit,yang membutuhkan makanan dan
minuman. Hakikat manusia terletak pada sesuatu yang amat berharga di dalam
tubuh kasarnya, yaitu roh. Artinya,bahwa eksistensi manusia memiliki jasad
sebagai bentuknya, dan memiliki roh atau jiwa sebagai makna keberadaannya. Roh
merupakan hakikat manusia yang berasal dari alam arwah, sedangkan jasad berasal
dari unsur-unsur materi. Jadi, jelas bahwa kejadian manusia itu terdiri dari
bentuk luar yang tersebut sebagai jasad, dan wujud dalam yang disebut sebagai
jiwa atau roh.
Dengan demikian kejadian manusia itu terdiri dari
dua unsur yang sangat berbeda, yaitu unsur rohani dan unsur jasmani. Unsur
rohani atau roh (jiwa) adalah sejenis wujud immateriil yang berasal dari nur
Allah, yakni makhluk suci yang memiliki potensi dan kecenderungan asli untuk
mengenal Tuhan dan menyembah-Nya, dan ia merupakan sumber akhlak yg mulia serta
senantiasa menarik jiwa dan jasad menuju keluhuran. Dan karena roh itu berasal
dari Allah, maka selamanya ia akan merindukan-Nya. Sedangkan unsur jasmani atau
jasad adalah wujud materiil yang memiliki sifat-sifat tabiat kebendaan yang
merupakan sumber dari hawa nafsu keduniaan yang berlawanan arah dengan tabiat roh.
Roh berasal dari alam arwah, yang diturunkan
kedalam jasad manusia,yang memiliki kemampuan untuk mengetahui, berkehendak dan
berkuasa atas tubuh yang didiaminya. Ketika roh ditiupkan ke dalam badan, badan
pun menjadi hidup. Dan ketika menigglkan badan, badan pun menjadi mati. Jadi
keberadaan badan manusia itu bergantung pada roh dan bukan sebaliknya. Roh sama
sekali tidak mengenal mati,sedikit pun ia tidak terpengaroh oleh kematian
kecuali sekedar kehilangan wadah kasarnya.
Sewaktu anak Adam tidur roh meninggalkan badan
untuk sementara. Tapi ketika roh dicabut kerena beberapa penyebab fisik seperti
tidak berfungsinya organ tubuh yang vital, atau penyebab lain dari luar, maka
matilah ia. Saat itu roh meninggalkan badan dan pergi ke dunia spiritual yaitu alam
arwah, sebagaimana diterangkan dalam Alquran ”Allah yang mengambil roh
manusia pada saat kematian mereka,dan yang belum mati dalam tidurnya. Allah
menahan roh orang yang telah ditetapkan ajal kematiannya, dan melepaskan yang
lain (ke badannya) sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Az Zumar: 42)
Ayat ini menerangkan bahwa roh itu hidup, dapat
berpindah-pindah, dan menembus ke segenap bagian tubuh manusia. Lebih lanjut
diterangkan, bahwa roh diperintah oleh Allah meninggalkan badan untuk semetara,
yaitu selama orang itu tidur. Kemudian diperintahkan-Nya memasuki badan kembali
begitu terjaga dari tidurnya. Rasulullah Saw. bersabda: ”Sesungguhnya rohmu
dikeluarkan dan kemudian dikembalikan kepadamu, sampai suatu waktu yang
diinginkan oleh Allah.”
Dengan sebab bahwa hidup manusia adalah karena
kehadiran roh pada jasadnya, maka ketika datang saat yang sudah ditetapkan roh
itu keluar, tubuh pun menjadi mati. Setelah kematian, tubuh manusia segera
rusak, tapi roh tetep hidup,kekal, dan abadi. Dalam hal ini Ibnu Qayyim
mengatakan, bahwa setelah roh dicabut saat menemui ajalnya ia kembali ke badan
dalam kubur untuk ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir. Seterusnya roh
menetap dalam barzakh untuk mengecap kebahagiaan atau merasakan hukuman siksa
sampai hari kebangkitan.
Dengan begitu rohlah yang akan mengantar manusia
untuk melihat keindahan dan kelapangan alam surgawi. Demikianlah pula
sebaliknya, rohlah yang akan mengantar manusia untuk menerima azab neraka.
Selanjutnya roh yang suci akan kembali kepada Allah di surga, sedangkan yang
kotor akan menjalani proses penyucian di neraka. Untuk itu segala kegiatan
manusia di dunia hendaknya dijadikan ibadah, karena hanya melalui peribadatan
itu roh dapat menyucikan dirinya setelah melakukan dosa-dosa selama hidup
menyatu dengan jasadnya.
Memang, di dalam Alquran dinyatakan bahwa roh itu
merupakan urusan Allah, dan manusia tidak diberi pengetahuan tentang roh
kecuali hanya sedikit. Ia hanyalah sebagian kecil dari rahasia Allah yang telah
ditetapkan Allah ke dalam manusia dari alam surgawi (QS. Shad: 72).
Namun meski sedikit, hal itu tidak menghalangi
manusia untuk terus melakukan pemikiran dan perenungan tentang eksistensi roh,
dan itu pun tidak luput dari timbulnya macam-macam perbedaan pendapat di antara
ulama telah mereka mengadakan kajian tentang hakikat roh. Sebab, di samping
adanya pengertian roh dari sudut fisik sebagai daya hidup jasmani, tetapi
secara substansial istilah roh juga mengandung pengertian sebagai wujud
spiritaual. Itulah sebabnya, di dalam tasawuf pun tidak sedikit tokoh-tokoh
sufi yang begitu serius membicarakan masalah roh, termasuk di kalangan sufi
indonesia seperti Syaikh Abdus Samad Al Palimbani.
Menurut Abdus Samad Al Palimbani roh manusia
adalah makhluk suci yang merupakan percikan Nur Alah yang Azali. Ia telah
memiliki wujud sebelum tubuhnya diciptakan, dan telah mengenal Tuhan secara
langsung sebelum ia dilahirkan ke dunia. Ketika itu manusia masih dalam bentuk nur
yang berkeliaran di seputar alam kesucian yang luhur, sebelum kemudian
ditentukan ke dalam kegelapan rahim dan menyatu dengan jasad janin.
Alquran menjelaskan bahwa sebelum roh diturunkan
ke alam jasad, Allah telah berfirman, ” Bukanlah Aku ini Tuhan kalian?”
Roh-roh itu pun menjawab, “Benar, Engkau adalah Tuhan kami.” (QS. Al ‘Araf:172).
Ayat ini jelas mengartikan, bahwa sebelum roh
diturunkan di alam jasad, mereka telah mengenal tentang sesuatu, yaitu Tuhan
Yang Maha Pencipta. Namun demikian, ketika roh ditiupkan ke alam jasad manusia,
roh-roh itu lupa akan pertemuan-Nya yang pernah mereka alami. Ini terjadi
karena roh semakin terpengaroh oleh nafsu yang ada pada jasad materialnya.
Maka, hanya dengan intensitas kegiatan ibadat, kiranya roh akan mengingat
kembali pengetahuan dan pengalaman yang pernah dialaminya di sisi Tuhannya,
yakni zaman azali.
Kebanyakan dari para sufi dengan merujuk pada
ayat Alquran, berpendapat bahwa semua sebelum di alam rahim sang ibu ia
menjalani fase nurani di zaman azali. Pada masa itu, menurut mereka manusia
berada dalam wujud yang seindah-indahnya dan sebaik-baiknya dalam wujud roh,
yang satu sama lain sudah saling mengenal. Ia hidup di alam kegaiban yang hanya
bisa dilihat oleh para wali abdal, kekasih-kekasih Allah. Dari sanalah kemudian
ia diturunkan ketempat yang serendah-rendahnya, yaitu dimasukkan ke dalam tanah
liat dan air mani yang hina. Jadi, manusia telah mengalami alam azali nurani
sebelum dirinya dijadikan dalam bentuk darah dan daging di dalam rahim. Setelah
itu, ia diturunkan ke dunia, dan hijab gaib pun segera melekat padanya,
yaitu berupa keinginan-keinginan dan kecenderungan nafsu keduniaan. Akibatnya,
sibuklah ia dengan kebutuhan-kebutuhan materinya, hingga ia lupa akan
sejarahnya, disebabkan terpenjara oleh dunia dan nafsu-nafsu rendah, hingga
derajatnya pun merosot serendah-rendahnya, yakni menjadi jasad kasar di alam
dunia yang rendah.
Sesudah jatuh dari keadaan sebaik-baiknya kejadian
mejadi keadaan paling rendah, manusia tidak bisa menikmati kembali keadaan di
zaman azali yang dilingkungi oleh keindahan surga. Apalagi jika manusia lupa
akan kedudukannya lalu menyeret diri dan menyerahkan kepada naluri hewaniahnya,
maka ia akan merosot ke lembah kehinaan. Begitulah manusia yang awalnya
merupakan ciptaan Allah yang paling mulia, ternyata lebih banyak merendahkan
derajanya sendiri dibawah makhluk-makhluk lain yang lebih rendah, seperti
binatang, pohon-pohon, bebatuan, dan lain-lainya. Perendahan derajat manusia
ini timbul lebih banyak diakibatkan oleh pengumbaran nafsunya yang tak terkendali,
terutama nafsu kecintaan pada harta, kedudukan,dan kehormatan. Akibatnya,
manusia yang kodrat sebenarnya adalah supaya mengendalikan materi kebendaan dan
mengatasi hawa nafsunya, tetapi pada kenyataanya malah terbalik, yakni manusia
yang kini justru diperbudak oleh benda-benda dan bujukan nafsunya sendiri. Dan
orang-orang yang tertipu itu bukanlah kaum awam saja, tapi dapat ditemukan
hampir di setiap lapisan masyarakat. Mereka dapat dijumpai dikalangan cerdik
pandai, bahkan di kalangan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, apalagi di
kalangan kaum awam dan rakyat jelata.
Kerinduan roh akan kehidupan asal di zaman azali,
menurut konsep sufisme,segera bila terobati begitu roh meninggalkan kehidupan
dunia ini menuju alam Barzakh. Di alam akhirat nanti jiwa-jiwa yang bersih akan
saling bertemu untuk menumpahkan kerinduannya, karena mereka saling kenal
dahulu sebelum ditiupkan ke badan manusia. Ada pun roh-roh yang kotor dan buruk
ia tidak akan merasa rindu kepada siapa pun, dan ia di hari akhirat itu
keadaannya sangat payah penuh penderitaan dan kesengsaraan, dan akan bertambah
payah lagi ketika bergabung dengan jiwa kotor lainnya.
Dan kerinduan itu akan terobati kala di surga
kelak: ” Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat
baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan:”
Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan
yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka
kekal di dalamnya. “
No comments:
Post a Comment