Tuesday, March 13, 2012

JATI DIRI MANUSIA


Istilah manusia berasal dari bahasa arab, yakni man (makhluk berakal). Manusia adalah makhluk yang bernyawa dan berakal. Bahwasanya kita sebagai manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang bernyawa (hidup) dan memiliki akal untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
Di samping itu, di dalam diri manusia mempunyai sifat lupa dan lalai. Dari sifat itulah, maka manusia berpotensi untuk berbuat salah (disengaja), khilaf (tidak disengaja).
Manusia sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan terdapat tiga unsur utama, yaitu jasad (fisik) atau juga disebut raga, jiwa (nafs), dan roh (roh). Unsur-unsur tersebut memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain.
A.     Jasmani (Raga atau Tubuh atau Jasad)
Ini adalah unsur diri manusia yang bisa dilihat, diraba, dicium baunya dan didengar dengan inderawi. Dalam kandungannya sebagai pemilik raga, manusia tidak ada bedanya dengan makhluk lainnya, yakni hewan, tumbuhan dan benda-benda mati lainnya (jamad). Maka ketika manusia sudah tidak memiliki nyawa atau telah mati, ia akan hancur dan keempat unsur akan menyatu dengan bumi.

B.      Nafs (jiwa)
Sermua manusia yang masih hidup di dunia, selain memiliki raga juga memiliki jiwa. Manusia berjiwa yang tidak memiliki raga, sama saja ia dengan hantu atau makhluk gaib yang tidak bisa dilihat keberadaannya. Sebaliknya, manusia yang tak berjiwa sama saja ia dengan benda-benda mati atau pohon yang tidak bisa bebas bergerak. Ia hanya menjadi seonggok mayat yang segera membusuk dan membaur dengan bumi.
Jika dibandingkan dengan raga, maka jiwa memiliki kedudukan yang lebih penting. Jiwalah yang dapat merasakan senang, gembira, atau nestapa. Jiwa pula yang merasakan lapar, dahaga, sakit, atau nikmat. Sebenarnya hewan pun memiliki jiwa seperti manusia, sehingga mereka juga akan merasakan mati sebagaimana firman Allah Swt.: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” (QS. Al-Anbiya: 35).
Akan tetapi, perbedaan hewan dengan manusia, bahwa manusia diberikan dua instrumen pendukung yang amat vital, yaitu akal dan hati. Dua unsur inilah yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya.
Akal dan hati sebagai instrumen vital juga ditempatkan pada jasmani. Akal berada di kepala dalam bentuk otak. Otak jasmani tersusun laksana kabel-kabel yang terangkai sedemikian rupa, rapi, dan sempurna. Namun otak dalam kepala tetaplah merupakan benda mati. Manakala tak berjiwa dan tak ada fungsinya. Demikian juga dengan hati. Pada jasad, hati berbentuk gumpalan darah yang padat membeku di dalam dada. Kita menyebutnya dengan istilah hati, di mana ini berbentuk benda mati. Dan ini semua tak ada fungsinya apabila tidak ada jiwa yang bersemayam di dalam raga.
Jiwa secara keselurohan meliputi tubuh manusia sedangkan hati pusatnya. Oleh karena itu, manusia yang hatinya bersih maka jiwanya juga akan bersih. Keadaan jiwa sangat akan terkait dengan keadaan psikologis dan fisiologis. Manusia yang hatinya kotor maka raut mukanya akan berbeda dengan manusia yang hatinya bersih. Manusia yang hatinya besih akan tampak dari mukanya yang berseri, ramah dan menghargai. Manusia yang marah dan bermuka musam, maka hatinya terliputi semacam kotoran dan bila terlalu banyak kotoran akan membuat buta mata hatinya.
Dengan demikian bahwa hati ibarat sebuah lingkaran jiwa manusia yang di dalamnya terdapat berbagai macam perasaan yang berbeda. Hati juga tempat bersemayamnya hidayah dan iman.
Dari paparan di atas terdapat beberapa pengertian tentang jiwa (nafs), yaitu pertama, jiwa yang berkaitan dan tumpuan syahwat atau hawa. Hawa atau syahwat selalu berkecenderungan kepada asal kejadiannya yaitu sari pati tanah. Dia akan bergerak secara naluri mencari bahan-bahan materi asal fisiknya, ketika kekurangan energi atau kekurangan unsur-unsur asalnya maka ia akan segera mencari atau secara naluri ia akan berkata, saya lapar, saya haus!
Kedua, nafs berarti Jiwa, jiwa  mempunyai beberapa sifat, nafs lawwamah (pencela), nafs muthmainnah (tenang), nafs ammarah bissu’ (senantiasa menyuroh berbuat jahat).
Sedangkan hati (qalb), artinya sifat jiwa yang berubah-ubah, tidak tetap. Terkadang ia bersifat muthmainnah, kadang juga lawwamah, atau berubah menjadi ammarah bissuu’.
Watak seperti inilah yang dimaksud dengan hati (berbolak-balik), jadi keliru kalau dikatakan hati itu adalah wujud karena dia bukan jiwa, akan tetapi merupakan sifatnya jiwa yang selalu berubah-rubah. Jiwa yang mempunyai sifat berubah-rubah inilah, dinamakan qalbun!! sedangkan jiwa yang selamat disebut qalbun salim (selamat dari sifat yang berubah-rubah) - illa man atallaha biqalbin saliim - kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. (QS. Asy Syura: 89)
Nafs (jiwa) memiliki alat-alat, pikiran, perasaan, intuisi, emosi, dan akal. Sedangkan nafs (fisik) memiliki alat-alat: penglihatan (mata), pendengaran (telinga), perasa (lidah), peraba, penciuman (hidung).

C.      Roh (Roh)
Tuhan memberikan pengetahuan dalam masalah “di luar alam nyata” (dalam istilah popoulernya Metafisika) kepada manusia sangatlah terbatas, dan hal itu bisa kita ketahui lewat penjelasan Alquran dan Sunah Nabi. Memang ada sebagian kebanyakan ahli filsafat yang membahas roh demikian jauh, sehingga mereka berkeyakinan bahwa roh itu kekal. Maka dari itu, bahwa membahas sedikit mengenai roh juga merupakan masalah penting yang harus diketahui.
Dalam sebuah ayat Alquran, Allah menjelaskan bahwa “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah, Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”,  (QS. Al-Isra': 85).
Roh merupakan bagian dari hal ghaib, dan bisa dikatakan rahasia Tuhan, serta manusia hanya memiliki sedikit pegetahuan tentang roh, akan tetapi bukan berarti tidak boleh dalam membahasnya. Dalam membahasnya pun sudah barang tentu didasari oleh rasa ingin tahu, dan didasari oleh pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
Mengapa Tuhan merahasiakan roh dan mengaitkannya dengan roh-Nya, dan di dalam Alquran termasuk kelompok ayat-ayat mutasyabihat (makna yang dirahasiakan), karena pada ayat tersebut terdapat kalimat roh manusia adalah roh yang ditiupkan dari roh-Ku (Min ruuhii) arti harfiahnya adalah roh milik Tuhan. Akan tetapi para ahli tafsir (mufassir) menterjemahkan roh ciptaan Tuhan. Kita jangan terburu-buru menafsirkan karena dari segi tata bahasa ayat ini termasuk kalimat muatasyabihat, sebab Tuhan sendiri melarang meraba-raba atau mereka-reka seperti apa roh itu kecuali hanya bisa merasakan bahwa di dalam diri ini ada yang melihat (bashirah) setiap gerak-gerik jiwa dan pikiran serta perasaan kita. Dan bashirah bersifat fitrah (suci) karena ia selalu bersama dan mengikuti perintah Tuhannya.
“Maka apabila telah Aku menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Roh-Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud”, (QS. Al Hijr: 29).
Roh adalah rahasia Tuhan yang ditiupkan kepada nafs (jiwa atau badan). Roh ini menyebut dirinya Aku, yang disebut bashirah (yang mengetahui atas jiwa, hati, dan fisik).
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri (jiwa). Di dalam diri manusia ada yang selalu tahu, yaitu Tuhan. Yaitu roh manusia yang menjadi saksi atas segala apa yang dilakukan diri sendiri. Ia mengetahui kebohongan dirinya, kemunafikan, rasa angkuhnya, dan rasa kebencian hatinya. Karena itu sang roh disebut min Amri rabbi – selalu mendapatkan intruksi-instruksi Tuhan-ku. Mengapa demikian, – karena ia tidak pernah mengikuti kehendak nafsu dan tidak pernah menyetujuinya tanpa kompromi sedikitpun. Ialah disebut fitrah yang suci, dan fitrah manusia selalu seiring dengan fitrah Allah (QS. Ar Rum: 30).
Roh adalah energi kekal, energi hidup yang mendiami setiap diri manusia, tidak perduli siapa dia apakah orang kaya, miskin, sehat, sakit, bahagia ataupun orang penuh penderitaan, roh tetap berdiam diri di dalamnya. Tanpa Roh manusia hanyalah seonggok daging tak berharga yang akan berubah menjadi bangkai. Sungguh sangat luar biasa keberadaan roh. Itulah sebabnya yang membuat manusia hidup dan bisa mempunyai nilai.
Roh merupakan energi yang berasal langsung dari Tuhan. Sungguh energi yang luar biasa. Roh adalah energi suci, maka janganlah engkau kotori rohmu dengan perbuatan yang menentang Tuhan. Jadi inti dari mempelajari energi inti roh adalah jauhkan diri dari perbuatan yang menentang Tuhan.

D.     Antara Jiwa dan Jasad
Kejadian ketika Allah mengambil kesaksian dan sumpah dari setiap jiwa memberikan informasi kepada kita, bahwa pada hakikatnya, manusia adalah makhluk spiritual. Kemudian, setelah kesaksian setiap jiwa di alam roh/jiwa itu, maka Allah melalui mekanisme alam rahim, memberikan setiap jiwa itu jasad. Jasad manusia pada hakikatnya adalah berasal dari bumi, dari sebagian zat yang ada pada tanah, sari pati tanah. Banyak sekali hal yang menyatakan tentang ini bisa kita temukan di dalam Alquran. Dan ilmu pengetahuan modern-pun telah membenarkan bahwa jasad manusia adalah satu bentuk material yang berasal dari sari pati tanah. Sedangkan jiwa adalah sesuatu yang berasal, kita sebut saja, ia berasal dari langit karena jiwa substansinya bukan berasal dari bumi.
Jiwa tidak pernah berhenti berkeinginan karena tua, tetapi karena keterbatasan jasad yang ia gunakan di dunia saja, yang membuat dirinya seakan-akan menjadi tua dan membatasi keinginan yang bermacam-macam. Tetapi, jika kita renungkan, pada hakikatnya, jiwa tidak pernah berhenti untuk berkeinginan. Hal ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Rasullulllah Saw., bahwa anak adam, seandainya ia telah memiliki gunung emas (kekayaan yang banyak) dirinya tidak akan pernah berhenti untuk menginginkan hal itu sampai tanahlah yang akan mengisi perutnya (kematian). Pada realitas kehidupan kita, kita sering melihat orang yang sudah ‘berumur’, tetapi masih memiliki semangat, kemauan, keinginan, bahkan gairah ‘seakan-akan’ mereka lupa akan usia mereka.
Inilah jiwa, yang sesungguhnya ia adalah bagian dari diri manusia yang abadi. Jiwa tidak pernah mati, bahkan ia akan hidup abadi. Dalam proses keabadiannya, jiwa mengalami satu fase ujian yang harus ia lewati, yaitu kehidupan di bumi (alam dunia dengan tujuan pokoknya, baca buku perjalanan manusia, pen), dan untuk melakukan hal itu setiap jiwa harus hidup ‘terkurung’ dan tergantung dalam materi yang mengikatnya, yaitu jasad. Setiap jiwa, hanya hidup sesaat di bumi, hidup sementara bersama jasadnya yang semakin hari semakin bertambah tua, yang kemudian jasad yang digunakannya itu akan kembali lagi pada bentuk semula, yaitu tanah. Dan ketika jasad yang ia gunakan telah kembali menjadi tanah, maka jiwa setiap manusia akan mengalami fase kehidupan selanjutnya. Untuk selengkapnya silakan anda membaca buku perjalanan manusia yang telah diterbitkan.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan hal yang berkaitan dengan hal jiwa dan jasad. Kita semua tahu, kalau saja jasad tidak diberi makan dan minum selama satu hari apa yang akan terjadi? Bagaimana jika 2 hari, 3 hari, atau 8 hari? Tentunya, kita semua sudah tahu jawabannya. Para dokter mengatakan rata-rata, manusia akan kuat untuk bertahan hidup dengan tidak makan dan minum adalah hanya 5 hari saja. Maka lebih dari itu, hampir jarang ditemukan manusia yang masih dalam keadaan hidup. Itulah jasad, setidaknya, jika ia masih hidup, pastilah jasadnya akan diketemukan dalam keadaan lemah, dan boleh jadi, tubuhnya rentan terkena penyakit, karena sistem pertahanan tubuhnya sudah tidak berfungsi dengan baik. Tentunya, kesadaran akan pentingnya makanan bagi jasad sudah merupakan satu hal yang menjadi pengetahuan umum, bahkan tidak perlu seseorang itu memperlajari teorinya secara alamiah, ia sudah melakukan hal ini. Hanya saja, yang dapat menggangu kesehatan jasadnya biasanya hanya tergantung dari pola makan, dan jenis makanan yang ia konsumsi. Itulah jasad. Orang yang menyadari pentingya makanan untuk jasad, maka ia akan senantiasa berusaha untuk mencari makanan untuk kelangsungan hidup jasadnya.
Setidaknya ada beberapa tingkatan dalam jasad manusia, yang pertama ia dalam keadaan lemah, yang kedua, ia dalam keadaan sakit, lalu kurang sehat, sehat, dan bugar, dan sangat sehat atau bersemangat. Jasad manusia senantiasa berada di antara kondisi-kondisi tersebut. Dan ketika seseorang menyadari pentingnya kondisi tersebut, tentunya ia akan melakukan sesuatu agar ia dapat mencapai kondisi tersebut. Jika ia dalam keadaan sakit, maka ia akan berobat, dan sudah menjadi satu hal kita maklumi, bahwa tidak semua obat yang kita minum enak rasanya. Tetapi karena kita tahu bahwa itu adalah obat, maka dengan harapan dan keyakinan akan sembuh, seseorang akan meminum/ memakan obat untuk kesembuhan jasadnya, walaupun ia berasa pahit.
Demikian pula dengan jiwa setiap manusia. Jiwa juga memerlukan ‘makanan’. Jika makanan untuk jasad ini adalah segala sesuatu yang berasal dari bumi, maka jiwa memerlukan ‘makanan’ yang berasal dari tempat jiwa itu berasal, yaitu dari langit. Allah sebagai pencipta manusia, telah juga menyediakan ‘makanan’ bagi jiwa itu, yaitu dengan memberikan petunjuk agar manusia menjaga jiwa mereka dengan melakukan ritual, seperti yang dinyatakan dalam rukun iman dan Islam. Melakukan berbagai perintah anjuran, dan larangan yang terkadang tidak dapat dipahami oleh jasad.
Dalam beberapa ayatnya Alquran menyatakan bahwa, bukan jasadnya yang mengalami kerusakan, tetapi jiwalah yang mengalami kerusakan. Seperti pada ayat yang secara makna menyatakan, bukan mata mereka yang buta, atau telinga mereka yang tuli, atau seperti pada ayat mereka memiliki mata dan telinga, tetapi mereka tidak bisa melihat dan tidak bisa mendengar. Dan disampaikan juga oleh Rasulullah, bahwa kedudukan hati (dalam jiwa, bukan hati dalam konteks fisik, seperti liver atau jantung) memiliki kedudukan yang sangat tinggi, jika hati seseorang itu baik, maka baiklah seluroh manusia itu.
Demikian pula kondisi jiwa seseorang, ia dapat berada pada kondisi lemah, sakit, kurang sehat, sehat dan bugar. Tentunya, ketika jasad untuk mencapai kondisi bugar perlu berbagai latihan dan juga makanan tambahan. Memang jasad tidak akan mati, jika ia hanya memakan makanan pokok saja, seperti nasi, tetapi juga dengan memakan makanan itu jasad juga tidak akan sampai pada tingkatan kesehatan yang maksimal atau bugar. Perlunya suplemen makanan (makanan tambahan) atas jasad sudah merupakan hal yang sangat penting, bagi mereka yang menyadari bagaimana harus menjaga jasar mereka. Dan, hal ini tidak ubahnya dengan jiwa, jiwa juga memerlukan suplemen makanan, boleh jadi, dalam kontes ritual, jiwa juga memerlukan banyak sekali amal tambahan agar ia menjadi bugar.
Ritual yang diwajibkan oleh Allah seperti shalat lima waktu dalam konteks pembahasan ini kita katakan sebagai makanan pokok saja. Yang dengan itu, jiwa manusia tidak akan pernah mati, tetapi, akan jauh lebih baik lagi kondisi jiwa seseorang itu apabila ia juga ‘memakan suplemen’ makanan jiwa yang lain dengan memperbanyak perbuatan yang di sunnahkan oleh Rasulullah. Maka jika ia melakukan hal itu, tentunya hal itu hanya akan membawa kebaikan untuk kesehatan jiwa yang melakukannya.
Kesehatan jiwa, sangat berhubungan erat dengan kesehatan jasad. Inilah hubungan yang masih menjadi pertanyaan besar bagi para peneliti di dunia kedokteran. Hampir semua penyakit yang di derita oleh manusia, kecuali yang sifatnya fisik, itu disebabkan karena kondisi kejiwaan. Atau dengan isitlah populer, kita kenal dengan kata ‘stress’. Yang kemudian akan menghasilkan tindakan emosional yang tidak sehat, dan memicu berbagai penyakit yang kita kenal dengan kanker, stroke, serangan jantung, dan lain sebagainya. Dalam dunia kedokteran, metode placebo (memberikan keyakinan pada jiwa sang pasien) adalah hal yang sangat efekif untuk penyembuhan penyakit.
Dan pada faktanya, obat yang di konsumsi oleh pasien, ternyata efektifitasnya hanya sekitar 25 – 30 persen. Juga melalui fakta tersebut, ada yang berpendapat bahwa, ketika seseorang mengalami ganguan kesehatan, maka sesungguhnya 60 persen yang ia alami adalah gangguan kejiwaan. Melalui fakta-fakta tersebut, dunia penyembuhan saat ini, tidak bisa tidak harus mencari satu terapi alternatif bagi sang pasien yang menderita satu penyakit, yaitu dengan menyehatkan jiwa mereka melalui pendekatan spiritual.
Hal ini tentunya bukan merupakan satu hal yang ‘baru’. Karena hal ini sudah dinyatakan dalam Alquran dan pada prakteknya sudah dicontohkan secara kongkrit oleh Rasulullah Saw. 14 abad yang lalu. Kesehatan yang hakiki agar dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki, yaitu keseimbangan antara kesehatan jiwa dan jasad. Kebaikan dunia dan akhirat.
Tinggal yang menjadi persoalan adalah, apakah kita sudah memberikan suplemen makanan yang cukup untuk jiwa kita, lalu bagaimanakah kita mendeteksi ‘sakit’ yang di derita oleh jiwa kita. Tentunya, untuk melihat jasad yang sakit kita memerlukan cermin, atau pandangan orang lain terhadap diri kita.
Demikian pula dengan jiwa, kita memerlukan cermin agar kita bisa melihat, di bagian manakah yang sakit pada jiwa kita. Ketika jasad memerlukan cermin yang berasal dari bumi, maka jiwa memerlukan cermin yang berasal dari langit, dan cermin itu, adalah Alquran.
Bercerminlah dengan Alquran untuk mengukur sejauh mana kesehatan jiwa kita. Hanya saja, tentunya, dalam prakteknya bercermin untuk memperbaiki jasad berbeda dengan bercermin untuk memperbaiki jiwa. Boleh jadi jiwa terasa tidak nyaman ketika sedang melihat pada cermin tersebut, sama seperti kita melihat bagian dari jasad kita yang tidak nyaman ketika kita mengetahui di mana tempat sakit itu berada. Dan boleh jadi ketika jiwa yang sakit tersebut di obati, maka akan terasa pahit pada awalnya, tetapi sesungguhnya ia memberikan penyembuhan, dan hal inilah proses yang telah di ajarkan Allah, sebagaimana proses penyembuhan jasad kita.
Ketika kesadaran akan hal ini timbul dalam diri kita, maka kita akan segera mengetahui manakah yang lebih penting, memenuhi kebutuhan jasad kita atau jiwa kita. Faktanya, banyak di antara mereka yang kebutuhan akan jasadnya (materil) sudah terpenuhi tetapi dalam kehidupannya mereka tidak bahagia, atau bahkan mereka hidup tersiksa, di amerika sendiri, pola hidup sehat secara fisik sudah banyak dilakukan, tetapi masih banyak pula yang terkena penyakit kanker.
Keseimbangan, adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan, dan tentunya, kita hanya akan melakukannya untuk jasad sesuai dengan proporsinya, sesuai dengan episodenya, karena nanti, jasad akan kembali ke bumi, hanya jiwalah yang akan melanjutkan perjalanannya. Dan untuk melakukan perjalanan, tentunya jiwa memerlukan bekal ‘kesehatan’ yang cukup.

E.      Antara Jasad dan Roh
Manusia bukanlah sekedar apa yang nampak secara kasat mata, terdiri atas berbalut daging dan kulit,yang membutuhkan makanan dan minuman. Hakikat manusia terletak pada sesuatu yang amat berharga di dalam tubuh kasarnya, yaitu roh. Artinya,bahwa eksistensi manusia memiliki jasad sebagai bentuknya, dan memiliki roh atau jiwa sebagai makna keberadaannya. Roh merupakan hakikat manusia yang berasal dari alam arwah, sedangkan jasad berasal dari unsur-unsur materi. Jadi, jelas bahwa kejadian manusia itu terdiri dari bentuk luar yang tersebut sebagai jasad, dan wujud dalam yang disebut sebagai jiwa atau roh.
Dengan demikian kejadian manusia itu terdiri dari dua unsur yang sangat berbeda, yaitu unsur rohani dan unsur jasmani. Unsur rohani atau roh (jiwa) adalah sejenis wujud immateriil yang berasal dari nur Allah, yakni makhluk suci yang memiliki potensi dan kecenderungan asli untuk mengenal Tuhan dan menyembah-Nya, dan ia merupakan sumber akhlak yg mulia serta senantiasa menarik jiwa dan jasad menuju keluhuran. Dan karena roh itu berasal dari Allah, maka selamanya ia akan merindukan-Nya. Sedangkan unsur jasmani atau jasad adalah wujud materiil yang memiliki sifat-sifat tabiat kebendaan yang merupakan sumber dari hawa nafsu keduniaan yang berlawanan arah dengan tabiat roh.
Roh berasal dari alam arwah, yang diturunkan kedalam jasad manusia,yang memiliki kemampuan untuk mengetahui, berkehendak dan berkuasa atas tubuh yang didiaminya. Ketika roh ditiupkan ke dalam badan, badan pun menjadi hidup. Dan ketika menigglkan badan, badan pun menjadi mati. Jadi keberadaan badan manusia itu bergantung pada roh dan bukan sebaliknya. Roh sama sekali tidak mengenal mati,sedikit pun ia tidak terpengaroh oleh kematian kecuali sekedar kehilangan wadah kasarnya.
Sewaktu anak Adam tidur roh meninggalkan badan untuk sementara. Tapi ketika roh dicabut kerena beberapa penyebab fisik seperti tidak berfungsinya organ tubuh yang vital, atau penyebab lain dari luar, maka matilah ia. Saat itu roh meninggalkan badan dan pergi ke dunia spiritual yaitu alam arwah, sebagaimana diterangkan dalam Alquran ”Allah yang mengambil roh manusia pada saat kematian mereka,dan yang belum mati dalam tidurnya. Allah menahan roh orang yang telah ditetapkan ajal kematiannya, dan melepaskan yang lain (ke badannya) sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Az Zumar: 42)
Ayat ini menerangkan bahwa roh itu hidup, dapat berpindah-pindah, dan menembus ke segenap bagian tubuh manusia. Lebih lanjut diterangkan, bahwa roh diperintah oleh Allah meninggalkan badan untuk semetara, yaitu selama orang itu tidur. Kemudian diperintahkan-Nya memasuki badan kembali begitu terjaga dari tidurnya. Rasulullah Saw. bersabda: ”Sesungguhnya rohmu dikeluarkan dan kemudian dikembalikan kepadamu, sampai suatu waktu yang diinginkan oleh Allah.”
Dengan sebab bahwa hidup manusia adalah karena kehadiran roh pada jasadnya, maka ketika datang saat yang sudah ditetapkan roh itu keluar, tubuh pun menjadi mati. Setelah kematian, tubuh manusia segera rusak, tapi roh tetep hidup,kekal, dan abadi. Dalam hal ini Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa setelah roh dicabut saat menemui ajalnya ia kembali ke badan dalam kubur untuk ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir. Seterusnya roh menetap dalam barzakh untuk mengecap kebahagiaan atau merasakan hukuman siksa sampai hari kebangkitan.
Dengan begitu rohlah yang akan mengantar manusia untuk melihat keindahan dan kelapangan alam surgawi. Demikianlah pula sebaliknya, rohlah yang akan mengantar manusia untuk menerima azab neraka. Selanjutnya roh yang suci akan kembali kepada Allah di surga, sedangkan yang kotor akan menjalani proses penyucian di neraka. Untuk itu segala kegiatan manusia di dunia hendaknya dijadikan ibadah, karena hanya melalui peribadatan itu roh dapat menyucikan dirinya setelah melakukan dosa-dosa selama hidup menyatu dengan jasadnya.
Memang, di dalam Alquran dinyatakan bahwa roh itu merupakan urusan Allah, dan manusia tidak diberi pengetahuan tentang roh kecuali hanya sedikit. Ia hanyalah sebagian kecil dari rahasia Allah yang telah ditetapkan Allah ke dalam manusia dari alam surgawi (QS. Shad: 72).
Namun meski sedikit, hal itu tidak menghalangi manusia untuk terus melakukan pemikiran dan perenungan tentang eksistensi roh, dan itu pun tidak luput dari timbulnya macam-macam perbedaan pendapat di antara ulama telah mereka mengadakan kajian tentang hakikat roh. Sebab, di samping adanya pengertian roh dari sudut fisik sebagai daya hidup jasmani, tetapi secara substansial istilah roh juga mengandung pengertian sebagai wujud spiritaual. Itulah sebabnya, di dalam tasawuf pun tidak sedikit tokoh-tokoh sufi yang begitu serius membicarakan masalah roh, termasuk di kalangan sufi indonesia seperti Syaikh Abdus Samad Al Palimbani.
Menurut Abdus Samad Al Palimbani roh manusia adalah makhluk suci yang merupakan percikan Nur Alah yang Azali. Ia telah memiliki wujud sebelum tubuhnya diciptakan, dan telah mengenal Tuhan secara langsung sebelum ia dilahirkan ke dunia. Ketika itu manusia masih dalam bentuk nur yang berkeliaran di seputar alam kesucian yang luhur, sebelum kemudian ditentukan ke dalam kegelapan rahim dan menyatu dengan jasad janin.
Alquran menjelaskan bahwa sebelum roh diturunkan ke alam jasad, Allah telah berfirman, ” Bukanlah Aku ini Tuhan kalian?” Roh-roh itu pun menjawab, “Benar, Engkau adalah Tuhan kami.” (QS. Al ‘Araf:172).
Ayat ini jelas mengartikan, bahwa sebelum roh diturunkan di alam jasad, mereka telah mengenal tentang sesuatu, yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta. Namun demikian, ketika roh ditiupkan ke alam jasad manusia, roh-roh itu lupa akan pertemuan-Nya yang pernah mereka alami. Ini terjadi karena roh semakin terpengaroh oleh nafsu yang ada pada jasad materialnya. Maka, hanya dengan intensitas kegiatan ibadat, kiranya roh akan mengingat kembali pengetahuan dan pengalaman yang pernah dialaminya di sisi Tuhannya, yakni zaman azali.
Kebanyakan dari para sufi dengan merujuk pada ayat Alquran, berpendapat bahwa semua sebelum di alam rahim sang ibu ia menjalani fase nurani di zaman azali. Pada masa itu, menurut mereka manusia berada dalam wujud yang seindah-indahnya dan sebaik-baiknya dalam wujud roh, yang satu sama lain sudah saling mengenal. Ia hidup di alam kegaiban yang hanya bisa dilihat oleh para wali abdal, kekasih-kekasih Allah. Dari sanalah kemudian ia diturunkan ketempat yang serendah-rendahnya, yaitu dimasukkan ke dalam tanah liat dan air mani yang hina. Jadi, manusia telah mengalami alam azali nurani sebelum dirinya dijadikan dalam bentuk darah dan daging di dalam rahim. Setelah itu, ia diturunkan ke dunia, dan hijab gaib pun segera melekat padanya, yaitu berupa keinginan-keinginan dan kecenderungan nafsu keduniaan. Akibatnya, sibuklah ia dengan kebutuhan-kebutuhan materinya, hingga ia lupa akan sejarahnya, disebabkan terpenjara oleh dunia dan nafsu-nafsu rendah, hingga derajatnya pun merosot serendah-rendahnya, yakni menjadi jasad kasar di alam dunia yang rendah.
Sesudah jatuh dari keadaan sebaik-baiknya kejadian mejadi keadaan paling rendah, manusia tidak bisa menikmati kembali keadaan di zaman azali yang dilingkungi oleh keindahan surga. Apalagi jika manusia lupa akan kedudukannya lalu menyeret diri dan menyerahkan kepada naluri hewaniahnya, maka ia akan merosot ke lembah kehinaan. Begitulah manusia yang awalnya merupakan ciptaan Allah yang paling mulia, ternyata lebih banyak merendahkan derajanya sendiri dibawah makhluk-makhluk lain yang lebih rendah, seperti binatang, pohon-pohon, bebatuan, dan lain-lainya. Perendahan derajat manusia ini timbul lebih banyak diakibatkan oleh pengumbaran nafsunya yang tak terkendali, terutama nafsu kecintaan pada harta, kedudukan,dan kehormatan. Akibatnya, manusia yang kodrat sebenarnya adalah supaya mengendalikan materi kebendaan dan mengatasi hawa nafsunya, tetapi pada kenyataanya malah terbalik, yakni manusia yang kini justru diperbudak oleh benda-benda dan bujukan nafsunya sendiri. Dan orang-orang yang tertipu itu bukanlah kaum awam saja, tapi dapat ditemukan hampir di setiap lapisan masyarakat. Mereka dapat dijumpai dikalangan cerdik pandai, bahkan di kalangan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, apalagi di kalangan kaum awam dan rakyat jelata.
Kerinduan roh akan kehidupan asal di zaman azali, menurut konsep sufisme,segera bila terobati begitu roh meninggalkan kehidupan dunia ini menuju alam Barzakh. Di alam akhirat nanti jiwa-jiwa yang bersih akan saling bertemu untuk menumpahkan kerinduannya, karena mereka saling kenal dahulu sebelum ditiupkan ke badan manusia. Ada pun roh-roh yang kotor dan buruk ia tidak akan merasa rindu kepada siapa pun, dan ia di hari akhirat itu keadaannya sangat payah penuh penderitaan dan kesengsaraan, dan akan bertambah payah lagi ketika bergabung dengan jiwa kotor lainnya.
Dan kerinduan itu akan terobati kala di surga kelak: ” Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan:” Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. “

No comments:

Post a Comment