Tuesday, March 13, 2012

KISAH HUZAIFAH (‘Melihat’ dengan Mata Batin)


Nama lengkapnya Huzaifah bin Hasan bin Jarwin, tidak diketahui tempat dan tahun kelahirannya. la berasal dari silsilah yang bersumber pada orang Yaman, untuk menghormati asal usul keturunannya itu, ia dikenal dengan Huzaifah bin Yaman. Meninggal pada tahun 36 H di kota Madain.
Dalam penulisan bahasa Indonesia namanya juga sering ditulis sebagai Hudzaifah. Suatu ketika ia diajak ayah bersama saudaranya Sofwan menghadap Rasulullah dan pada waktu itu mereka bersama-sama masuk Islam.
Sejak itulah ia beragama Islam. la amat dekat dengan Rasulullah dan karenanya ia selalu dibina dan digembleng Rasulullah. Berbeda dengan para sahabat yang lain, Huzaifah bin Yaman memiliki kesiapan yang baik dan mampu menyerap bimbingan Rasulullah. Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki Huzaifah yang tidak dimiliki oleh orang lain. Yaitu perhatiannya yang luar biasa terhadap penghayatan dan pengamalan Islam, bukan hanya dalam bentuk lahir yang bersifat simbolik, tetapi lebih kepada bentuk-bentuk batin yang bersifat hakiki.
Perhatiannya inilah yang luput dari perhatian sahabat-sahabat lainnya. Barangkali hal ini pulalah yang membuat Nabi demikian banyak memberikan bimbingannya kepada Huzaifah. Menyadari keistimewaan Huzaifah ini, Ali bin Abi Thalib memperingatkan Huzaifah agar berhati-hati menyalurkan ilmunya hingga tidak membawa kesalah pahaman. Dengan kata lain, Huzaifah merupakan orang pertama yang memperhatikan ajaran-ajaran Islam dalam kaitannya dengan batin, yaitu aspek esoteris yang sering luput dari perhatian manusia.
Menurut Huzaifah, orang harus bijak dan tenang dalam dunia ini, terutama dalam menghadapi berbagai cobaan (fitnah), malapetaka (musibah) dan berbagai penderitaan lainnya. Untuk bijak dan tenang, orang harus mengenal sumbernya yaitu hati manusia itu sendiri. Apakah hati telah menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Adakah iman telah menjadi dasar dari setiap gerak hati tersebut, sebagaimana disinggung dalam Alquran surat  al-Ra’d: 28.
Menurut Huzaifah, sesuatu yang baik itu adalah jelas dan terang, sedang sesuatu yang buruk atau jahat selalu samar dan tersembunyi. Sebaiknya perhatian kita bukan hanya kepada yang baik saja, tetapi lebih-lebih kepada yang buruk atau jahat yang samar-samar itu. Namanya juga samar-samar dan karenanya menghendaki perhatian yang khusus dari manusia. Orang bijak selalu memperhatikan yang samar-samar itu agar menjadi jelas.
Suatu ketika Huzaifah ditanya orang tentang bimbingan Rasulullah kepadanya. Huzaifah menyatakan bahwa “orang selalu bertanya kepada Rasulullah tentang yang baik-baik dari suatu amal, sedang aku bertanya tentang yang buruk atau tercela dari suatu amal yang dengan itu aku bisa menghindarinya dengan tepat”. Menurut Huzaifah; “orang tidak akan mengenal kebaikan yang sempurna tanpa mengetahui keburukannya”.
Perhatiannya terhadap masalah-masalah batin dan hidup di lingkungan Rasulullah membuat ia dikenal sebagai sahabat yang memiliki spesialisasi bidang batin sebagaimana ditegaskan oleh Sya’rani. Menurut Abu Thalib al-Makky, Huzaifah memiliki pengetahuan khusus tentang rahasia batin dan hal-hal yang tersembunyi di dalam diri manusia hingga ia mampu membedakan antara orang beriman dan munafik. Oleh karena itu tidak heran kalau Umar ibn Khattab tidak turut salat jenazah seseorang yang wafat kalau dilihatnya Huzaifah tidak ikut mensalatkannya.
Ketekunannya memperhatikan hal-hal yang buruk dan sikap tegas menghadapinya membuat ia sedikit pendiam tetapi bila ia berbicara sering dirasakan terlalu tajam dan pedas. Hal demikian pernah dirasakannya sendiri sebagai hal yang tidak layak dan membawa dosa. Selanjutnya ia menuturkan: “Saya datang menemui Rasulullah Saw.. aku berkata kepadanya: Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam terhadap keluargaku dan aku khawatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkan aku masuk Neraka. Maka Rasulullah bersabda: Kenapa kamu tidak beristigfar? Sungguh saya beristigfar kepada Allah tiap hari seratus kali.
Huzaifah adalah seorang santri yang teguh beribadah, seorang pemikir yang tajam dan berilmu batin yang dalam dan bahkan juga  wali kota dan panglima perang. Mengenai yang terakhir ini, di samping aktif bersama Rasulullah di medan perang, juga memimpin pertempuran.
Dialah yang memimpin pertempuran dalam membebaskan kota-kota antara lain Hamdan, Rai dan Dainawar. la salah seorang panglima yang membebaskan seluroh Irak. Dalam pertempuran besar di Nahawand melawan tentara musuh yang berjumlah tidak kurang dari 150.000 orang, Huzaifah merupakan panglima besar kedua setelah Nu’man bin Mudarrin gugur di medan perang dan di tangan Huzaifah bendera Islam berkibar terus sampai beroleh kemenangan akhir.
Tidak jemu-jemunya ia berpesan kepada kaum muslimin: “Tidaklah termasuk yang terbaik di antara kalian yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat dan tidak pula yang meninggalkan akhirat untuk kepentingan dunia tetapi hanyalah yang mengambil bagian dari keduanya”.
Karena kejeliannya dalam ilmu batin dan hal-hal yang merusak kejernihan hati maka Huzaifah dianggap sebagai sahabat yang menjadi cikal bakal tumbuh suburnya ilmu sufi sejati. Sufi yang masih asli dari sumbernya yaitu Nabi Muhammad Saw.
Memang, Huzaifah tidaklah setenar khalifah yang empat yaitu Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib atau nama-nama lainnya. Tetapi, sejarah telah mencatat bahwa Huzaifah memiliki keistimewaan yang berbeda dengan sahabat-sahabat yang lain. Ia lebih banyak melihat ‘kedalam’ daripada melihat ‘keluar’ sehingga kedalaman batinnya sangat terasah.
Baginya hidup tidak hanya untuk melihat yang baik dan mengamalkan yang baik saja, tetapi hidup juga harus melihat yang buruk dan berusaha menghindari yang buruk itu, agar amal yang baik tidak bercampur dengan yang buruk. Di sinilah kelebihan Huzaifah di mana ia selalu bertanya tentang hal-hal mana saja yang buruk kepada Nabi agar ia mudah menghindari keburukan itu.

No comments:

Post a Comment